Bullying adalah masalah Universal, tidak ada negara dan sekolah yang menjadi perkecualian. Data yang didapat Robert Pereira (International Educational Consultant dan Praktisi Masalah Bullying) saat melalukan seminar bullying prevention dan konseling di mancanegara, menyatakan bahwa perilaku bullying terjadi secara universal, lintas budaya, dan lintas generasi. Ternyata, anak-anak di Asia mengalami perilaku bullying yang sama seperti anak-anak di Australia. Anak-anak tahun 2000-an mengalami perilaku bullying yang juga dialami oleh anak-anak tahun 1980-an namun dengan ditambah adanya cyber-bullying.
Selama ada pertemanan, disitu juga terdapat potensi terjadinya bullying dan kompleksitas pertemanan.
Lalu apakah yang dimaksud dengan Bullying?
Secara singkat perilaku bullying memiliki empat karakteristik sebagai berikut:
- Tindakan agresif: dapat dilakukan secara fisik, verbal, sosial (menghasut teman-teman untuk menjauhi korban), psikis (tatapan sinis, dijauhi, dan didiamkan), dan sekarang bertambah dengan cyber-bullying.
- Kekuatan yang tidak seimbang: terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku bullying. Biasanya pelaku menganggap korban lebih lemah dan jumlah pelaku lebih banyak dari korban.
- Pengulangan: terjadi dengan pelaku yang sama dan korban yang sama secara berulang-ulang. Anak laki-laki atau perempuan yang menjadi korban bullying dapat diganggu secara berulang oleh orang lain atau suatu kelompok. Beberapa anak laki-laki digoda setiap hari. Beberapa anak perempuan diberi "lirikan sinis" setiap hari.
- Kepuasan bagi pelaku: pelaku merasa puas atau senang setelah menindas korban.
Lalu apa bedanya dengan ledekan, kekerasan yang lain? Ini pertanyaan yang kerap diajukan kepada kami.
Mari kita bedakan antara BULLYING dengan KONSEKUENSI SOSIAL (hukuman sosial).
Hukuman sosial merupakan konsekuensi dari perilaku si "korban" yang mungkin mengganggu, kurang pantas atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Contohnya, seorang anak yang sering berkata kasar dijauhi oleh teman-temannya.
Kasus lainnya yaitu perilaku agresif sewaktu-waktu yang tidak melibatkan karakteristik PENGULANGAN. Hal ini biasanya terjadi dengan penyebab yang jelas dan hanya terjadi sekali. Contoh, A menyenggol kotak makan B saat makan siang, sehingga A marah dan memukul B padahal sebelumnya A dan B tidak pernah saling mengganggu. Kejadian ini bukan tindakan bullying.
Catatan:
Kalau kita atau anak sedang memberikan konsekuensi sosial terhadap seseorang karena perilakunya yang tidak pantas, APAKAH PERLU dengan CARA KEKERASAN atau yang SERUPA dengan PERILAKU BULLY?
Ketika melihat definisi bullying, Anda melihat kata “berulang". Anak laki-laki atau anak perempuan yang menjadi korban bullying dapat diganggu secara berulang oleh orang lain atau suatu kelompok.
Beberapa anak laki-laki digoda setiap hari. Beberapa anak perempuan diberi "lirikan sinis" setiap hari. Banyak orang tua meminta anaknya "tabah". Akan tetapi sebenarnya, kita sebagai orang dewasa harus
mempertimbangkan bagaimana rasanya menjadi anak usia 5, 6, 7, 8, 9, atau 10 dan seterusnya yang mengalami perilaku tidak menyenangkan dari teman sepermainan dan terjadi setiap hari di sekolah (merasakan kesal dan cemas terus-menerus) bahkan dengan kemajuan teknologi, bullying dapat berlanjut terus di manapun. Seorang anak tidak dapat mengabaikan pengalaman seperti itu. Bagi seorang anak, perilaku seperti itu dapat menjadi "traumatis". Anak akan membangun mekanisme pertahanan diri, terkait trauma yang terjadi.
Kekesalan dan kecemasan anak-anak ini dapat berubah menjadi kemarahan, tindak agresi, mogok sekolah, bahkan yang paling parah sampai depresi dan ingin bunuh diri. Pada
awalnya, anak korban bully akan selalu bertanya-tanya “Mengapa saya?" dan “Apa
yang salah dengan diri saya?". Kemudian suatu hari akhirnya berkembang menjadi konsep diri yang salah “Tidak ada yang menyukai saya" dan mulai muncul
di benak mereka “Apa gunanya?..Tidak ada gunanya. Kejadian ini tidak akan pernah berhenti", “Tidak ada gunanya sekolah lagi...bahkan tidak ada gunanya hidup lagi...".
Sebagai orang dewasa, kita tidak dapat mengabaikan pengalaman-pengalaman nyata itu sebagai tidak penting, mengecilkan efeknya pada anak-anak atau remaja, memaafkan
pelakunya, atau menyatakan si korban terlalu sensitif dan harus lebih tabah.
Pertanyaan reflektif:
"Melatih daya juang apakah perlu melalui dibully dan membiarkan anak-anak ada yang men-bully temannya.?"
Memahami Bullying Pada Anak-anak Perempuan
Bullying bisa terjadi secara cross gender. Secara umum bullying mempunyai karakteristik
khusus antara bullying pada anak perempuan dengan bullying pada anak laki-laki.
Alasan, penyebab dan ekspresi bullying anak-anak perempuan secara signifikan berbeda dengan bullying pada anak laki-laki. Mari kita membahas bullying pada anak-anak perempuan terlebih dahulu.
Ada banyak alasan tentunya mengapa anak perempuan mem-bully. Kami sampaikan di sini, alasan utama atau tersering bullying pada anak perempuan adalah disebabkan oleh perasaan IRI HATI kepada korban yang dianggap mempunyai banyak kelebihan dibandingkan pelaku. Di sisi lain, bullying juga dapat disebabkan karena pelaku memandang korban secara rendah, terutama terkait kekurangan korban, seperti gendut, jelek, miskin, dll.
Iri hati terhadap apa?
Pencetus iri hati ada berbagai macam, di antaranya:
1. Kecantikan, penampilan fisik
2. Talenta
3. Popularitas
4. Kepribadian yang baik dan disukai
5. Disukai teman laki-laki
6. Barang-barang yang dipakai
7. Berprestasi di sekolah
Mengingat bahwa alasan utama anak-anak perempuan men-bully adalah karena IRI HATI. Biasanya, ketika seseorang dikuasai iri hati, apa yang akan dilakukan? Orang yang iri hati dan tidak bisa menguasainya lagi, biasanya ingin menyakiti dan melihat orang yang dia iri hatikan hidupnya menderita, ingin menghancurkan hidup orang tersebut. Ini justru tujuan utamanya. Senang melihat hidup orang yang dia iri hatikan itu susah dan sengsara. Terkadang anak-anak perempuan justru lebih susah berempati pada korbannya dibandingkan anak laki-laki dikarenakan rasa iri hati.
Seperti yang sudah kemarin disampaikan, alasan penyebab dan ekspresi bullying anak-anak perempuan secara signifikan berbeda dengan bullying pada anak laki-laki. Mari hari ini
kita membahas bullying pada anak laki-laki.
Bullying pada anak laki-laki relatif lebih mudah dideteksi karena mereka bersuara keras, main fisik, dan lebih mungkin melontarkan komentar tidak pantas di depan orang lain. Perilaku bullying cenderung berupa ledekan yang merendahkan dan mempermalukan korban. Kalau bullying pada anak perempuan seringkali disebabkan oleh perasaan IRI HATI kepada korban, anak laki-laki seringkali membully temannya yang mereka anggap BERBEDA,
melakukannya karena BERCANDA, JUST FOR FUN, meskipun isu terkait iri hati juga ada.
Berbeda? Maksud berbedanya bagaimana?
Semua perbedaan individu dapat menjadi pusat perhatian anak laki-laki pelaku bullying, antara lain:
1. Perbedaan fisik: lebih kecil atau besar (gendut). Termasuk juga di dalamnya isu ras, terlihat lembut, tidak berotot, tidak dianggap "macho"
2. Perbedaan minat atau talenta: tidak terampil olahraga, menyukai olahraga yang tidak biasa misal senam lantai, dan mempunyai talenta yang dianggap tidak khas laki-laki misal
memasak, bermain biola dan piano klasik
3. Akademik yang menonjol, "kutu buku"
4. Karakter: baik, sopan, anak kesayangan guru, atau tidak dianggap nakal
5. Disabilitas fisik dan kondisi lainnya seperti anak autisme atau asperger
Mengingat bahwa alasan utama anak laki-laki men-bully adalah karena PERBEDAAN dan JUST FOR FUN, yang perlu disadari anak laki-laki ialah memiliki rasa empati, mengubah cara berpikir yang keliru mengenai "persepsi sebagai laki-laki atau macho dan keren. Bukan sesuatu yang salah jika anak laki tidak pandai dan tidak suka olahraga. Ada anak yang
berbakat olahraga, tetapi ada juga anak yang kurang berbakat dan mempunyai minat lain. Bukan salah anak mana pun jika ia dilahirkan dengan disabilitas fisik maupun mental. Tidak ada yang merencanakan kelahiran, menjadi ras apa, mempunyai warna kulit putih/cokelat dll. Selain itu, anak laki-laki perlu ditumbuhkan rasa empatinya dengan pertanyaan reflektif, bagaimana rasanya ketika kita diperlakukan seperti itu setiap hari?
Sumber: Hanlie Muliani, M.Psi (Komunitas Parenting Education)