Thought and Shares

Selasa, 29 September 2020

Delayed Gratification, Kontrol Diri Menunda Kesenangan

 



Delayed Gratification adalah salah satu skill yang sangat penting dilatih pada anak sejak usia dini. Delayed Gratification adalah salah satu cara untuk melatih dan mengembangkan kemampuan Regulasi Diri (Impluse & Emotional Control). Sedangkan regulasi diri, adalah kemampuan yang sangat penting untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Jumlah kasus baru Covid-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan angka penambahannya kembali mencapai rekor terbaru pada bulan Agustus 2020.

Ironisnya, di waktu yang sama didapati lalu lintas yang mulai padat, tempat-tempat umum dan tempat hiburan sudah ramai dipadati pengunjung, bahkan tidak jarang mereka mengabaikan protokol Covid-19.

Lalu, mengapa tetap berwisata atau hanya sekedar bersenang-senang "nongkrong" di luar bersama rekan-rekan, mengabaikan protokol Covid-19, meskipun tahu data peningkatan kasus Covid-19 terus mengalami pelonjakan?

Di situasi lainnya, anak-anak kita masih terus menjalani school from home (sekolah online/belajar di rumah) dalam waktu yang belum bisa dipastikan. Dalam pembelajaran online ini, ada sebagian anak yang berhasil menjalani sekolah online, di mana mereka tetap bertahan mengikuti pembelajaran, namun mengapa ada sebagian anak yang tidak bisa bertahan, dan terganggu di tengah-tengah proses pembelajaran? Ada yang belajar sambil chatting, ada yang update status di media sosial, ada yang sambil main game online, dan keluar masuk ruangan hanya untuk makan, minum lalu tidur-tiduran, dan berbagai aktivitas lain untuk menghilangkan kebosanan mereka.

Kemampuan Delayed Gratification bisa menjadi salah satu jawabannya. Tidak hanya pada anak-anak, bahkan orang dewasa pun ada yang masih belum mampu melakukan DELAYED GRATIFICATION, KONTROL DIRI MENUNDA KESENANGAN.

 "Apa itu Delay Gratification" 


Delay gratification adalah kemampuan untuk menolak/menunda dorongan/impulse/hasrat untuk tujuan jangka panjang yang lebih bernilai.

Kemampuan menunda kesenangan/kepuasan sangat penting terkait dengan kontrol diri, regulasi diri.

Menunda kesenangan/kepuasan juga dapat diartikan dengan menunda keinginan/temptation (godaan).

Kebutuhan harus langsung dipenuhi, namun kesenangan/keinginan/temptation (godaan) tidak harus langsung dipenuhi. Bisa ditunda, dan tidak ada konsekuensi buruk dari penundaan yang dilakukan.

Contoh kebutuhan VS keinginan:
1. Membeli handphone model baru ketika handphone  yang lama masih bisa dipergunakan, kondisi masih bagus dan baru setahun yang lalu dibeli, ini adalah keinginan. Membeli handphone baru karena handphone yang lama sudah rusak, ini adalah kebutuhan.
2. Main game di tengah-tengah school online, ini jelas keinginan/temptation (godaan) yang bisa ditunda.
3. Pergi berwisata ke tempat wisata publik pada saat kita semua sedang berusaha untuk menanggulangi virus Covid-19 bersama, jelas bukan kebutuhan melainkan kesenangan/keinginan yang tidak perlu dipenuhi saat itu juga.

Menunda main game saat school online untuk tujuan jangka panjang yang lebih bernilai yaitu memahami materi yang sedang diajarkan, pencapaian akademik dan naik kelas dengan baik.

Menunda wisata saat pandemi untuk tujuan yang lebih besar dan bernilai yaitu mengatasi pandemi virus Covid-19 di negara kita. Untik kepentingan, kebutuhan dan kebaikan bersama yang lebih luas.

SEJAK KAPAN KEMAMPUAN DELAYED GRATIFICATION PERLU DILATIH DAN DIBENTUK PADA ANAK?

Pada bayi sampai usia 2 tahun, semua dorongannya perlu segera dipenuhi. Dorongan bayi yang diekspresikan melalui bahasa tangisan adalah dorongan kebutuhan (butuh makan karena lapar, butuh dibersihkan pup dan pipisnya, butuh bermain dan berinteraksi dengan caregiver-nya, butuh diobati karena sakit). Semua kebutuhan ini perlu langsung dipenuhi, jangan ditunda. Hal ini juga untuk membangun pola Secure Attachment pada perkembangan psikologis anak.

Kalau kita pernah mendengar, "Bayi menangis dibiarkan saja supaya tidak manja dan bau tangan", ini sebuah pemahaman yang keliru!

Kemampuan delayed gratification sudah dan perlu mulai dikembangkan sejak usia +/- 2 tahun. Karena:
1. Setelah +/- usia 2 tahun, dorongan yang muncul pada anak tidak lagi hanya kebutuhan namun mulai muncul impuls/dorongan yang sifatnya kesenangan/keinginan/temptation (godaan).
2. Usia +/- usia 2 tahun, anak juga sudah mulai memahami konsep sebab akibat.
3. Usia +/- usia 2 tahun, anak juga sudah mulai memahami konsep tujuan/goal.

Seiring bertambahnya usia, jika dilatih dan dibentuk, maka anak mulai bisa menekan/menunda impuls/dorongan/keinginannya, menahan diri untuk meraih tujuan dan kepuasan yang lebih bernilai. Semakin bertambah usia seharusnya tidak lagi impulsif.


KEMAMPUAN DELAYED GRATIFICATION dan PREDIKSI KESUKSESAN HIDUP

Sebuah penelitian longitudinal mengenai Delayed Gratification dilakukan oleh Profesor Walter Mischel di Stanford University pada tahun 1972.

Gambaran eksperimen:
Mischel melakukan uji coba pada anak-anak berusia empat dan lima tahun di Taman Kanak-kanak Bing di dalam kampus Universitas Stanford. Masing-masing dari anak tersebut dibawa ke dalam suatu ruangan dan sebuah marshmallow diletakkan di meja di depan anak tersebut. Mereka diberitahu bahwa mereka boleh memakan marshmallow tersebut sekarang, tetapi apabila mereka menunggu 20 menit, Mishcel akan kembali dan memberikan mereka tambahan satu marshmallow.

Hasil dari percobaan tersebut adalah sepertiga dari anak-anak tersebut memakan marshmallow dengan segera, sepertiga lainnya menunggu hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua marshmallow dan sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah setelah waktu yang berbeda-beda.

Tujuan awal dari percobaan ini adalah untuk mengetahui proses mental yang membuat seseorang menunda kepuasaannya saat ini untuk mendapatkan kepuasan yang lebih pada masa mendatang.

Analisis statistik menunjukkan bahwa kemampuan menunda kesenangan, tingkat pengendalian/kontrol diri seorang anak merupakan alat yang sangat akurat dalam memperkirakan nilai akademik yang baik, penyesuaian emosional yang bagus, keterampilan interpersonal yang tinggi, rasa aman, kemampuan beradaptasi, kondisi keberhasilan finansial, kesehatan yang baik.


Sumber: Hanlie Muliani, M.Psi, Komunitas Parenting Education

Rabu, 16 September 2020

Altruisme dan Kemampuan Memberi atau Menolong Orang Lain, Dampak Psikologisnya pada Anak

 


Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain.

Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan imbalan.

"Jika kita menginginkan kebahagiaan selama satu jam, tidurlah. Jika kita menginginkan kebahagiaan satu hari, pergilah memancing. Jika kita menginginkan kebahagiaan selama setahun, wariskan kekayaan. Jika kita menginginkan kebahagiaan seumur hidup, bantulah seseorang." -Chinese Proverb-

Apakah setiap anak mempunyai jiwa altruisme? Apakah setiap anak bisa memberi dan menolong orang lain?

Altruisme dan Kemampuan Memberi atau Menolong Orang lain adalah Bawaan 

Manusia, sejak bayi sudah mengembangkan kapasitas kolaboratif, juga mengembangkan keterampilan dan motivasi untuk berbagi serta bekerja sama.

Dorongan untuk bekerja sama, yang berkembang sejak 14-18 bulan, merupakan bentuk keterlibatan sosial yang unik. Ini melibatkan tujuan bersama, perhatian bersama, dan rencana tindakan bersama (niat), kemampuan untuk membaca rencana orang lain (teori pikiran), dan motivasi intrinsik untuk membantu orang tersebut mencapainya.

Jika kita membuat rencana untuk memetik apel dari pohon yang cabangnya lebih tinggi daripada yang bisa dicapai oleh salah satu dari kita, kita perlu membuat niat bersama ('niat kita') dan kemudian masing-masing memainkan peran kita yang sesuai untuk mewujudkannya. Misalnya, saya bisa menaiki tangga untuk mendapatkan apel, tetapi itu hanya akan terjadi jika kamu memegang tangga agar saya tidak jatuh.

Kita tahu bahwa sifat kerja sama itu bawaan karena kita bukan satu-satunya primata yang terlibat dalam perilaku ini, simpanse juga!

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa penghargaan ekstrinsik, seperti menerima mainan sebagai hadiah untuk tindakan kooperatif, menurunkan keinginan altruistik bawaan siswa untuk bekerja sama! (Tomasello, 2009)


Baca juga: Bullying dan Kompeksitas Pertemanan

Untuk mengujinya, peneliti mengembangkan serangkaian eksperimen yang dirancang untuk menunjukkan perilaku altruistik anak-anak.

Eksperimen terdiri dari dua bagian: fase perawatan di mana anak-anak, usia 20 bulan, diberi kesempatan untuk membantu orang dewasa dan ditawarkan hadiah verbal (pujian), hadiah materi (kesempatan untuk memainkan permainan yang menarik) atau tanpa hadiah sama sekali (respons netral). Anak-anak yang membantu dalam fase perawatan melanjutkan ke fase pengujian. Dalam fase pengujian, tidak ada hadiah yang ditawarkan.

Hipotesis para peneliti adalah bahwa anak-anak dengan motivasi intrinsik untuk membantu tidak akan terpengaruh oleh penghargaan eksternal. Mereka juga berhipotesis bahwa penghargaan verbal atau sosial tidak akan berpengaruh atau mungkin berdampak positif pada peningkatan perilaku.

Nah, bagaimana hasil penelitiannya?

Hasil penelitian terhadap altruisme dan kemampuan memberi atau menolong orang lain

Hasil mengungkapkan beberapa hal. Pertama dan terpenting, anak usia 20 bulan secara intrinsik (internal) termotivasi untuk membantu. Yang lebih menarik, setelah mengalami pujian atau tanggapan netral, anak-anak sama-sama membantu penguji dibandingkan dengan mereka yang menerima penghargaan materi.

Anak-anak yang menerima penghargaan selama fase awal ternyata cenderung tidak membantu. Selanjutnya, tawaran motivasi ekstrinsik (eksternal) berfungsi untuk mengurangi perilaku menolong dalam jangka panjang. Studi ini menunjukkan bahwa anak-anak kurang cenderung mengembangkan semangat kerja sama atau memberikan bantuan ketika mereka ditawari penghargaan (reward) eksternal .

Seolah-olah penghargaan (reward) mengalihkan fokus dari tindakan altruistik ke tindakan yang lebih narsistik (saya hanya akan melakukan sesuatu ketika saya mendapat hadiah atau reward).

Ini menunjukkan bahwa altruisme atau keinginan untuk membantu adalah bawaan (Warneken dan Tomasello, 2008). Hal ini merupakan pergeseran paradigma dalam hal penguatan (reward) eksternal.

Jika keinginan untuk membantu adalah bawaan dan dorongan eksternal tidak meningkatkan perilaku, maka mengajari anak-anak mengapa mereka perlu melakukan perilaku tersebut akan jauh lebih penting daripada melatihnya dengan cara memberikan reward. Keinginan untuk membantu ini sangat erat selaras dengan kerja sama.

Mengapa pada anak perlu dikembangkan sikap altrusime dan kemampuan membantu orang lain? Apa dampak psikologisnya terhadap mereka?


Dampak Psikologis dari Perilaku Altruistik, Memberi dan Menolong Orang Lain

Memberikan kesempatan baik di rumah maupun dalam program sekolah untuk mendorong anak-anak memikirkan dan membantu orang lain daripada hanya diri dan keuntungan mereka sendiri adalah cara yang baik untuk membantu anak-anak mengembangkan ketahanan (resilient).

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa salah satu hal yang dapat memprediksi apakah anak-anak akan lebih penuh harapan serta optimis saat mereka tumbuh dan berkembang adalah jika kita memberikan kesempatan di mana mereka dapat membantu orang lain. Kita dapat melakukan kegiatan amal sebagai sebuah keluarga, dimulai dari usia dini.

Selain ketahanan (resilient), hope dan rasa optimis, dampak psikologis apa lagi yang muncul dari perilaku altruistik, memberi dan menolong orang lain?

Resilient adalah kemampuan yang sangat penting dimiliki anak untuk menghadapi kehidupannya. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Angela Duckworth dalam bukunya GRIT, disampaikan bahwa salah satu dari dua kunci sukses dan bahagia dalam hidup adalah: resilient (ketahanan/daya juang).

Pentingnya Perilaku Altruistik, Memberi dan Menolong Sesama, serta Dampaknya pada Psikologis Anak

Menjadi teladan dan mengajar anak-anak melayani merupakan hal yang luar biasa untuk dikerjakan dan cara yang baik untuk mengembangkan empati, konsep diri positif, keterampilan sosial, selain ketahanan (resilient) pada anak-anak.

Anak yang tangguh lebih percaya diri, merasa kompeten dalam keterampilan mereka, lebih terhubung dengan orang-orang di sekitar mereka, merasa bahwa mereka adalah kontributor bagi keluarga, sekolah, dan komunitas mereka, dan merasa lebih dapat mengendalikan hidup dan emosi mereka.

Kita semua ingin mendapatkan rasa terima kasih karena telah berkontribusi bagi dunia, dan ketika anak-anak mendengar "terima kasih" atas kontribusi mereka di rumah maupun di luar keluarga, mereka akan terdorong untuk berkontribusi lebih banyak lagi kepada dunia di sekitar mereka.

Inilah mengapa sangat penting untuk mengajari anak-anak pentingnya membantu orang lain dan mendorong pendekatan "saya bisa melalukan sesuatu" untuk orang lain, untuk lingkungan sosial saya, untuk sekolah saya, untuk Indonesia, untuk dunia. Mengapa tidak?


Sumber : Hanlie Muliani, M.Psi, Komunitas Parenting Education

Doa Cinta Sang Pengantin

YA ALLAH 
ANDAI KAU BERKENAN,
LIMPAHKANLAH KEPADA KAMI CINTA YANG KAU JADIKAN PENGIKAT RINDU RASULULLAH DAN KHADIJAH AL-QUBRO 
YANG KAU JADIKAN MATA AIR KASIH SAYANG IMAM ALI DAN FATIMAH AZ-ZAHRA 
YANG KAU JADIKAN PENGHIAS KELUARGA NABI-MU YANG SUCI 

YA ALLAH ANDAI SEMUA TAK LAYAK BAGI KAMI, 
MAKA CUKUPLAH PERMOHONAN KAMI DENGAN RIDHO-MU 
JADIKANLAH AKMI SEBAGAI SUAMI-ISTRI 
YANG SALING MENCINTAI DIKALA DEKAT SALING MENJAGA KEHORMATAN DIKALA JAUH, 
SALING MENGHIBUR DIKALA DUKA, 
SALING MENGINGATKAN DIKALA BAHAGIA, 
SALING MENDOAKAN DALAM KEBAIKAN DAN KETAQWAAN, 
SALING MENYEMPURNAKAN DALAM PERIBADATAN YA ALLAH, 
SEMPURNAKANLAH KEBAHAGIAAN KAMI DENGAN MENJADIKAN PERKAWINAN INI SEBAGAI IBADAH KEPADA-MU 
DAN BUKTI KEPENGIKUTAN DAN CINTA KAMI KEPADA SUNNAH KELUARGA RASUL-MU 
AMIN … YA ROBBAL ‘ALAMIN 

DALAM MATSNAWI, MAULANA JALALUDIN RUMI BERDENDANG TENTANG CINTA

Sabtu, 12 September 2020

Kompleksitas Pertemanan & Bullying

 


Bullying adalah masalah Universal, tidak ada negara dan sekolah yang menjadi perkecualian. Data yang didapat Robert Pereira (International Educational Consultant dan Praktisi Masalah Bullying) saat melalukan seminar bullying prevention dan konseling di mancanegara, menyatakan bahwa perilaku bullying terjadi secara universal, lintas budaya, dan lintas generasi. Ternyata, anak-anak di Asia mengalami perilaku bullying yang sama seperti anak-anak di Australia. Anak-anak tahun 2000-an mengalami perilaku bullying yang juga dialami oleh anak-anak tahun 1980-an namun dengan ditambah adanya cyber-bullying.

Selama ada pertemanan, disitu juga terdapat potensi terjadinya bullying dan kompleksitas pertemanan.

Lalu apakah yang dimaksud dengan Bullying?
Secara singkat perilaku bullying memiliki empat karakteristik sebagai berikut:
- Tindakan agresif: dapat dilakukan secara fisik, verbal, sosial (menghasut teman-teman untuk menjauhi korban), psikis (tatapan sinis, dijauhi, dan didiamkan), dan sekarang bertambah dengan cyber-bullying.
- Kekuatan yang tidak seimbang: terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara korban dan pelaku bullying. Biasanya pelaku menganggap korban lebih lemah dan jumlah pelaku lebih banyak dari korban.
- Pengulangan: terjadi dengan pelaku yang sama dan korban yang sama secara berulang-ulang. Anak laki-laki atau perempuan yang menjadi korban bullying dapat diganggu secara berulang oleh orang lain atau suatu kelompok. Beberapa anak laki-laki digoda setiap hari. Beberapa anak perempuan diberi "lirikan sinis" setiap hari.
- Kepuasan bagi pelaku: pelaku merasa puas atau senang setelah menindas korban.



Lalu apa bedanya dengan ledekan, kekerasan yang lain? Ini pertanyaan yang kerap diajukan kepada kami. 

Mari kita bedakan antara BULLYING dengan KONSEKUENSI SOSIAL (hukuman sosial).

Hukuman sosial merupakan konsekuensi dari perilaku si "korban" yang mungkin mengganggu, kurang pantas atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Contohnya, seorang anak yang sering berkata kasar dijauhi oleh teman-temannya.
Kasus lainnya yaitu perilaku agresif sewaktu-waktu yang tidak melibatkan karakteristik PENGULANGAN. Hal ini biasanya terjadi dengan penyebab yang jelas dan hanya terjadi sekali. Contoh, A menyenggol kotak makan B saat makan siang, sehingga A marah dan memukul B padahal sebelumnya A dan B tidak pernah saling mengganggu. Kejadian ini bukan tindakan bullying.

Catatan:
Kalau kita atau anak sedang memberikan konsekuensi sosial terhadap seseorang karena perilakunya yang tidak pantas, APAKAH PERLU dengan CARA KEKERASAN atau yang SERUPA dengan PERILAKU BULLY?

Ketika melihat definisi bullying, Anda melihat kata “berulang". Anak laki-laki atau anak perempuan yang menjadi korban bullying dapat diganggu secara berulang oleh orang lain atau suatu kelompok.

Beberapa anak laki-laki digoda setiap hari. Beberapa anak perempuan diberi "lirikan sinis" setiap hari. Banyak orang tua meminta anaknya "tabah". Akan tetapi sebenarnya, kita sebagai orang dewasa harus mempertimbangkan bagaimana rasanya menjadi anak usia 5, 6, 7, 8, 9, atau 10 dan seterusnya yang mengalami perilaku tidak menyenangkan dari teman sepermainan dan terjadi setiap hari di sekolah (merasakan kesal dan cemas terus-menerus) bahkan dengan kemajuan teknologi, bullying dapat berlanjut terus di manapun. Seorang anak tidak dapat mengabaikan pengalaman seperti itu. Bagi seorang anak, perilaku seperti itu dapat menjadi "traumatis". Anak akan membangun mekanisme pertahanan diri, terkait trauma yang terjadi.

Kekesalan dan kecemasan anak-anak ini dapat berubah menjadi kemarahan, tindak agresi, mogok sekolah, bahkan yang paling parah sampai depresi dan ingin bunuh diri. Pada awalnya, anak korban bully akan selalu bertanya-tanya “Mengapa saya?" dan “Apa yang salah dengan diri saya?". Kemudian suatu hari akhirnya berkembang menjadi konsep diri yang salah “Tidak ada yang menyukai saya" dan mulai muncul di benak mereka “Apa gunanya?..Tidak ada gunanya. Kejadian ini tidak akan pernah berhenti", “Tidak ada gunanya sekolah lagi...bahkan tidak ada gunanya hidup lagi...".

Sebagai orang dewasa, kita tidak dapat mengabaikan pengalaman-pengalaman nyata itu sebagai tidak penting, mengecilkan efeknya pada anak-anak atau remaja, memaafkan pelakunya, atau menyatakan si korban terlalu sensitif dan harus lebih tabah.


Pertanyaan reflektif:
"Melatih daya juang apakah perlu melalui dibully dan membiarkan anak-anak ada yang men-bully temannya.?"

Memahami Bullying Pada Anak-anak Perempuan

Bullying bisa terjadi secara cross gender. Secara umum bullying mempunyai karakteristik khusus antara bullying pada anak perempuan dengan bullying pada anak laki-laki. Alasan, penyebab dan ekspresi bullying anak-anak perempuan secara signifikan berbeda dengan bullying pada anak laki-laki. Mari kita membahas bullying pada anak-anak perempuan terlebih dahulu.

Ada banyak alasan tentunya mengapa anak perempuan mem-bully. Kami sampaikan di sini, alasan utama atau tersering bullying pada anak perempuan adalah disebabkan oleh perasaan IRI HATI kepada korban yang dianggap mempunyai banyak kelebihan dibandingkan pelaku. Di sisi lain, bullying juga dapat disebabkan karena pelaku memandang korban secara rendah, terutama terkait kekurangan korban, seperti gendut, jelek, miskin, dll.

Iri hati terhadap apa?

Pencetus iri hati ada berbagai macam, di antaranya:
1. Kecantikan, penampilan fisik
2. Talenta
3. Popularitas
4. Kepribadian yang baik dan disukai
5. Disukai teman laki-laki
6. Barang-barang yang dipakai
7. Berprestasi di sekolah

Mengingat bahwa alasan utama anak-anak perempuan men-bully adalah karena IRI HATI. Biasanya, ketika seseorang dikuasai iri hati, apa yang akan dilakukan? Orang yang iri hati dan tidak bisa menguasainya lagi, biasanya ingin menyakiti dan melihat orang yang dia iri hatikan hidupnya menderita, ingin menghancurkan hidup orang tersebut. Ini justru tujuan utamanya. Senang melihat hidup orang yang dia iri hatikan itu susah dan sengsara. Terkadang anak-anak perempuan justru lebih susah berempati pada korbannya dibandingkan anak laki-laki dikarenakan rasa iri hati.


Memahami Bullying Pada Anak Laki-laki

Seperti yang sudah kemarin disampaikan, alasan penyebab dan ekspresi bullying anak-anak perempuan secara signifikan berbeda dengan bullying pada anak laki-laki. Mari hari ini kita membahas bullying pada anak laki-laki.

Bullying pada anak laki-laki relatif lebih mudah dideteksi karena mereka bersuara keras, main fisik, dan lebih mungkin melontarkan komentar tidak pantas di depan orang lain. Perilaku bullying cenderung berupa ledekan yang merendahkan dan mempermalukan korban. Kalau bullying pada anak perempuan seringkali disebabkan oleh perasaan IRI HATI kepada korban, anak laki-laki seringkali membully temannya yang mereka anggap BERBEDA, melakukannya karena BERCANDA, JUST FOR FUN, meskipun isu terkait iri hati juga ada.

Berbeda? Maksud berbedanya bagaimana?

Semua perbedaan individu dapat menjadi pusat perhatian anak laki-laki pelaku bullying, antara lain:
1. Perbedaan fisik: lebih kecil atau besar (gendut). Termasuk juga di dalamnya isu ras, terlihat lembut, tidak berotot, tidak dianggap "macho"
2. Perbedaan minat atau talenta: tidak terampil olahraga, menyukai olahraga yang tidak biasa misal senam lantai, dan mempunyai talenta yang dianggap tidak khas laki-laki misal memasak, bermain biola dan piano klasik
3. Akademik yang menonjol, "kutu buku"
4. Karakter: baik, sopan, anak kesayangan guru, atau tidak dianggap nakal
5. Disabilitas fisik dan kondisi lainnya seperti anak autisme atau asperger

Mengingat bahwa alasan utama anak laki-laki men-bully adalah karena PERBEDAAN dan JUST FOR FUN, yang perlu disadari anak laki-laki ialah memiliki rasa empati, mengubah cara berpikir yang keliru mengenai "persepsi sebagai laki-laki atau macho dan keren. Bukan sesuatu yang salah jika anak laki tidak pandai dan tidak suka olahraga. Ada anak yang berbakat olahraga, tetapi ada juga anak yang kurang berbakat dan mempunyai minat lain. Bukan salah anak mana pun jika ia dilahirkan dengan disabilitas fisik maupun mental. Tidak ada yang merencanakan kelahiran, menjadi ras apa, mempunyai warna kulit putih/cokelat dll. Selain itu, anak laki-laki perlu ditumbuhkan rasa empatinya dengan pertanyaan reflektif, bagaimana rasanya ketika kita diperlakukan seperti itu setiap hari?


Sumber: Hanlie Muliani, M.Psi (Komunitas Parenting Education)

Delayed Gratification, Kontrol Diri Menunda Kesenangan

  Delayed Gratification adalah salah satu skill yang sangat penting dilatih pada anak sejak usia dini. Delayed Gratification adalah salah ...